Secara geografis, gunung Tampomas terletak di utara wilayah Kabupaten
Sumedang. Kawasan ini berada di tiga kecamatan, yaitu Buahdua, Conggeang,
Cimalaka dan Tanjungkerta dengan luas area taman wisatanya kurang lebih 1.250
hektar.
Banyak
cerita mistis beredar dimasyarakat tentang gunung ini, apa lagi beberapa waktu
lalu pernah masuk acara misteri di salah satu stasiun televisi swasta.
Masyarakat sekitar pun percaya kalau gunung ini memiliki tuah atau dianggap
keramat. Bahkan berdasarkan cerita juru kunci disana, banyak pengunjung dari
jauh yang sengaja datang hanya untuk berziarah dan ngalaberkah. Percaya atau
tidak, tapi inilah kepercayaan umum yang masih melekat kuat di masyarakat
hingga saat ini.
Hari ini, sabtu 09 Juni 2012 saya bersama temen-temen APRAK (Apresiasi Alam
dan Kreatifitas) akan mencoba melakukan pendakian ke gunung dengan berbagai cerita
mistis ini.
Setelah berkoordinasi dengan semua temen-temen APRAK, akhirnya hanya tiga
orang yang bisa berangkat yaitu : Sentot Utama (saya sendiri), Santo Kenthus
dan Bambang Edi (BEN). Rencananya kami akan naik malam minggu dan turun di
minggu siang dengan mengambil jalur pendakian curug Ciputrawangi, Narimbang.
Dengan hanya 3 personil dan berbagai cerita mistis yang datang baik dari
luar maupun dari lingkungan keluarga APRAK sendiri, sebenarnya ada sedikit rasa
ragu untuk melakukan pendakian dimalam hari. Akan tetapi, dengan berbekal
keyakinan terhadap Tuhan YME, dan secara pribadi saya yakin akan kemampuan dan
kekompakan kita bertiga maka kami tim APRAK mengambil keputusan untuk
melakukannya. Baiklah temen-temen APRAK, beginilah kronologis ceritanya…
Sabtu
sore, 09 juni 2012 jam 15.00 saya dan Kenthus berangkat menuju titik pertemuan.
Sebelumnya kami janji ketemu di Carefour Soekarno-Hatta Bandung. Jam 16.00 kami
sampai di titik temu, ternyata BEN belum mendarat. Setelah menunggu sekitar 1 jam,
c Ben baru nongol.
Dari Soekarno-Hatta kami naik bus DAMRI jurusan Kalapa-Tanjungsari, ini
berarti kami harus transit dulu di Tanjungsari untuk ganti kendaraan yang
menuju kearah Sumedang. Dengan kondisi jalan yang macet, jam 19.00 kami baru
sampai di Tanjungsari. Setelah makan dan istirahat sebentar, kami melanjutkan
perjalanan dengan menumpang Bus jurusan Solo. Sekitar jam 21.00 kami sampai di
bunderan Legok (paseh) tepat di depan Alfamart legok. Setelah Tanya-tanya
sebentar, kami mendapat informasi bahwa untuk menuju Narimbang kami harus naik
ojek denga tarif Rp.20.000 permotor *sebagai catatan : masyarakat setempat
justru banyak yang belum mengenal Curug Ciputrawangi.
Lagi-lagi
saya mendapat bekal tambahan cerita mistis dari akang tukang ojek yang lumayan
menciutkan nyali. Ditambah lagi setelah sampai di Narimbang, tukang ojek yang
ditumpangi Kenthus juga menyarankan untuk mengurungkan niat jalan malam.
Alasannya karena sorenya habis diguyur hujan, sehingga dikhawatirkan kita akan
bertemu ular besar.
Sebelum mampir ke rumah kuncen (Pak Kasmad) kami menyempatkan diri untuk
shalat isya berjamaah di masjid setempat, dilanjut Briefing dan do’a bersama.
Kami sempet bingung, karena ternyata rumah Pak Kasmad telah pindah posisi. Tapi
untuk mencarinya tidaklah begitu sulit, ada ciri khas yang melekat pada rumah
sang kuncen ini, yaitu peta rute pendakian yang terpampang disudut rumahnya.
Sambutan ramah Pak Kasmad (mungkin lebih tepatnya “Abah Kasmad”) memberikan
sedikit rasa lega bagi kami, ini menandakan kedatangan kami diterima dengan
baik. Banyak hal kami bicarakan disini,
tpi mungkin hanya saya yang memahami apa yang sedang dibicarakan, secara hanya
saya yang memahami bahasa Sunda halus. Disini saya bisa tau kenapa Bah Kasmad
pindah rumah. Ternyata alasan Bah Kasmad pindah adalah karena beliau pisah
dengan istri tercintanya. Cintanya kandas setelah menjalani bahtera pernikahan
selama 20 tahun
Setelah dirasa cukup, dan dengan dorongan do’a dari Bah Kasmad, kami pamit
dan melakukan persiapan untuk pendakian.
Diawal pendakian jalur Narimbang, kita akan menemui posko atau pintu masuk
lokasi wisata curug Ciputrawangi. Kalau siang hari kita akan dikenakan biaya
masuk sekitar Rp.3000/ orang, tapi karena kami masuk dimalam hari, walaupun
banyak pemuda karang taruna yang mangkal disana, kami tidak dipungut biaya
apapun.
Setelah melewati posko, kita akan menemui dua jalur, satu kea rah curug,
satu lagi kearah sanghiang taraje (puncak Tampomas). Kami mengambil arah kiri,
yaitu jalur menuju puncak. Diawal jalur pendakian, kita akan menemui beberapa
tumbuhan yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dikiri kanan akan banyak
ditemui pohon pisang, pohon salak dan tumbuhan-tumbuhan yang sering kita temui
dikebun. Disini jalur terasa sedikit menanjak dengan kemiringan sekita 60 s/d
70 derajat.
Beberapa ratus meter kemudian, kita akan menemui hutan pinus dan selepas
hutan pinus kita akan masuk ke ladang penduduk. Diujung ladang kita akan
menemui gubuk, dan kolam penampungan air. Disini kita bisa mengisi persediaan
air minum. Gubuk ini adalah gubuk terakhir yang kami temui, artinya tidak akan
adalagi yang bisa di temui sampai puncak. Perjalanan dari awal sampai lokasi
gubuk ini kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Dan untuk mencapai puncak
diperkirakan masih memerlukan waktu 3 atau 4 jam lagi.
Sekitar 20 menit lepas dari ladang, kita akan menemui batu besar dengan
banyak bekas sesaji berserakan disana-sini. Batu ini oleh masyarakat setempat
dinamakan batu kukus. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami
langsung melanjutkan perjalanan. Pertimbangan kami. Karena dulu saat pendakian
pertama saya sempat mengalami kejadian supranatural disini.
Setelah melewati batu kukus, kita akan memasuki kawasan hutan yang masih
tergolong alami. Berbagai tumbuhan liar dapat kita temui disini. Sangat
disayangkan karena pengetahuan kami akan tumbuhan hutan sangat minim, sehingga
kami tidak dapat mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan tersebut.
Ciri khas jalur Narimbang adalah medannya yang landai, walau pun di
beberapa titik di temui tanjakan curam, tapi secara umum jalurnya memang
landai. Landai disini bukan berarti mudah dilewati, kelandaian jalurnya harus
ditebus dengan jarak yang panjang dengan kondisi menanjak secara konstan. Jadi
dimanapun kita berdiri, bisa dipastikan dalam posisi miring, dan jalur dengan
tipe seperti ini bagi kami cukup melelahkan.
Dua setengah jam kami melewati hutan yang lumayan lebat, kami menemui lokasi
tanah datar yang lumayan luas. Karena kondisi fisik yang sudah menurun dan
dengan mempertimbangkan informasi bahwa di puncak tanahnya teridiri dari
bantuan, maka kami putuskan untuk mendirikan tenda disini. Lokasi ini juga
merupakan tempat bertemunya dua jalur pendakian, yaitu jalur Narimbang dan
jalur Cibeureum. Jadi disini merupakan pertigaan.
Sekitar setengah jam kita mendirikan tenda, setelah selesai Ben langsung
tumbeng tidak sadarkan diri masuk kealam mimpi. Saya dan Kenthus lebih memilih
untuk menyiapkan isi perut dengan memasak mie instan. Melepas lelah sambil
menikmati malamnya hutan Tampomas, banyak hal yang bisa kita renungi. Hitam dan
gelapnya malam diiringi alunan suara-suara binatang malam semakin menambah
damainya suasana hati. Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 04.00 pagi, dan
saya pun menghentikan dahsyatnya dengkuran Ben. Setelah mengganjal perut dengan
mie instan dan sedikit kue kering, kami bersiap diri untuk menuju puncak. Untuk
mengurangi beban, segala perbekalan sengaja kami tinggal di tenda. Dan dengan
ucapan “Bismillahirrohmanirrohiem” kami pun berangkat.
Jalur dari pertigaan menuju puncak (sanghiang taraje) adalah medan
terekstrim di Tampomas, dengan sudut berkisar antara 70 s/d 90 derajat. Jalur
yang kami lalui didominasi oleh batuan besar kecil yang menempel ke tanah.
Disisi-sisinya banyak ditemui jurang yang lumayan dalam. Ada sedikit rasa
khawatir melewati jalur ini, karna kesalahan kecil saja bisa membahayakan
keselamatan kami. Sehingga kami harus ekstra hati-hati melewatinya. Mungkin
inilah alasannya kenapa penduduk setempat menamainya dengan sebutan “Sanghiang
Taraje”
Setelah satu jam 20 menit berjalan, akhirnya perjuangan kami berakhir, dan
puncakpun terlihat di depan mata. Ternyata ada yang lebih dulu sampai di
puncak, disana kami bertemu dengan anak-anak SMP Buahdua Conggeang dan
Mahasiswa Unpad Jatinangor. Setelah berkenalan dengan mereka, kami menuju
sebuah batu besar dengan bendera tertancap disana. Dan inilah titik tertinggi
Gunung Tampomas, titik inilah yang kami perjuangkan hampir selama 7 jam. Inilah
titik dengan ketinggian 1684 mdpl...
Berada dititik tertinggi kota Sumedang, menyaksikan lukisan yang maha kuasa
yang begitu indah, semua letih dan lelah seolah terangkat menguap keudara di
gantikan oleh segarnya energi yang dipancarkan oleh eloknya alam sekitar. Kicauan
suara burung menyambut pagi seolah berisi bait syair pujian diiringi untaian
merdu nada-nada alam. Disini seolah mata batin ini hidup dan mampu melihat jauh
kedalam diri, menyadari betapa kecil diri ini dihadapan Tuhan dengan segala
ciptaannya. Betapa sombong jiwa ini yang selama ini sudah merasa mampu untuk
mengemban tanggung jawab sebagai sosok pemimpin di alam ini. Congkak rasanya
kita ditempatkan berada dititik tertinggi rantai makanan. Yang secara umum
bukan perbaikan yang kita berikan terhadap alam, tapi sebaliknya kerusakan demi
kerusakan yang kita ciptakan…..
Untuk APRAK dan sahabat inspirasi semua, semoga ada hikmah yang bisa
diambil dari cerita ini, semoga pengalaman ini mampu menggerakan akal ini untuk
berfikir, menerangi batin ini sehingga sinarnya mampu membuka mata batin kami
untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya…..
No comments:
Post a Comment