Pages

Wednesday, June 13, 2012

Tampomas, Sebuah Perjalanan

Tampomas....., Selalu penasaran untuk mencapai puncaknya jika mengingat namanya.  Dengan ketinggian sekitar 1684 mdpl, gunung ini memang tidak terlalu tinggi.




Secara geografis, gunung Tampomas terletak di utara wilayah Kabupaten Sumedang. Kawasan ini berada di tiga kecamatan, yaitu Buahdua, Conggeang, Cimalaka dan Tanjungkerta dengan luas area taman wisatanya kurang lebih 1.250 hektar.

Banyak cerita mistis beredar dimasyarakat tentang gunung ini, apa lagi beberapa waktu lalu pernah masuk acara misteri di salah satu stasiun televisi swasta. Masyarakat sekitar pun percaya kalau gunung ini memiliki tuah atau dianggap keramat. Bahkan berdasarkan cerita juru kunci disana, banyak pengunjung dari jauh yang sengaja datang hanya untuk berziarah dan ngalaberkah. Percaya atau tidak, tapi inilah kepercayaan umum yang masih melekat kuat di masyarakat hingga saat ini.

Hari ini, sabtu 09 Juni 2012 saya bersama temen-temen APRAK (Apresiasi Alam dan Kreatifitas) akan mencoba melakukan pendakian ke gunung dengan berbagai cerita mistis ini.

Setelah berkoordinasi dengan semua temen-temen APRAK, akhirnya hanya tiga orang yang bisa berangkat yaitu : Sentot Utama (saya sendiri), Santo Kenthus dan Bambang Edi (BEN). Rencananya kami akan naik malam minggu dan turun di minggu siang dengan mengambil jalur pendakian curug Ciputrawangi, Narimbang.

Dengan hanya 3 personil dan berbagai cerita mistis yang datang baik dari luar maupun dari lingkungan keluarga APRAK sendiri, sebenarnya ada sedikit rasa ragu untuk melakukan pendakian dimalam hari. Akan tetapi, dengan berbekal keyakinan terhadap Tuhan YME, dan secara pribadi saya yakin akan kemampuan dan kekompakan kita bertiga maka kami tim APRAK mengambil keputusan untuk melakukannya. Baiklah temen-temen APRAK, beginilah kronologis ceritanya…

Sabtu sore, 09 juni 2012 jam 15.00 saya dan Kenthus berangkat menuju titik pertemuan. Sebelumnya kami janji ketemu di Carefour Soekarno-Hatta Bandung. Jam 16.00 kami sampai di titik temu, ternyata BEN belum mendarat. Setelah menunggu sekitar 1 jam, c Ben baru nongol.

 
Dari Soekarno-Hatta kami naik bus DAMRI jurusan Kalapa-Tanjungsari, ini berarti kami harus transit dulu di Tanjungsari untuk ganti kendaraan yang menuju kearah Sumedang. Dengan kondisi jalan yang macet, jam 19.00 kami baru sampai di Tanjungsari. Setelah makan dan istirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang Bus jurusan Solo. Sekitar jam 21.00 kami sampai di bunderan Legok (paseh) tepat di depan Alfamart legok. Setelah Tanya-tanya sebentar, kami mendapat informasi bahwa untuk menuju Narimbang kami harus naik ojek denga tarif Rp.20.000 permotor *sebagai catatan : masyarakat setempat justru banyak yang belum mengenal Curug Ciputrawangi.

Lagi-lagi saya mendapat bekal tambahan cerita mistis dari akang tukang ojek yang lumayan menciutkan nyali. Ditambah lagi setelah sampai di Narimbang, tukang ojek yang ditumpangi Kenthus juga menyarankan untuk mengurungkan niat jalan malam. Alasannya karena sorenya habis diguyur hujan, sehingga dikhawatirkan kita akan bertemu ular besar.

Sebelum mampir ke rumah kuncen (Pak Kasmad) kami menyempatkan diri untuk shalat isya berjamaah di masjid setempat, dilanjut Briefing dan do’a bersama.

Kami sempet bingung, karena ternyata rumah Pak Kasmad telah pindah posisi. Tapi untuk mencarinya tidaklah begitu sulit, ada ciri khas yang melekat pada rumah sang kuncen ini, yaitu peta rute pendakian yang terpampang disudut rumahnya.

Sambutan ramah Pak Kasmad (mungkin lebih tepatnya “Abah Kasmad”) memberikan sedikit rasa lega bagi kami, ini menandakan kedatangan kami diterima dengan baik. Banyak hal kami bicarakan  disini, tpi mungkin hanya saya yang memahami apa yang sedang dibicarakan, secara hanya saya yang memahami bahasa Sunda halus. Disini saya bisa tau kenapa Bah Kasmad pindah rumah. Ternyata alasan Bah Kasmad pindah adalah karena beliau pisah dengan istri tercintanya. Cintanya kandas setelah menjalani bahtera pernikahan selama 20 tahun

Setelah dirasa cukup, dan dengan dorongan do’a dari Bah Kasmad, kami pamit dan melakukan persiapan untuk pendakian.

Diawal pendakian jalur Narimbang, kita akan menemui posko atau pintu masuk lokasi wisata curug Ciputrawangi. Kalau siang hari kita akan dikenakan biaya masuk sekitar Rp.3000/ orang, tapi karena kami masuk dimalam hari, walaupun banyak pemuda karang taruna yang mangkal disana, kami tidak dipungut biaya apapun.

Setelah melewati posko, kita akan menemui dua jalur, satu kea rah curug, satu lagi kearah sanghiang taraje (puncak Tampomas). Kami mengambil arah kiri, yaitu jalur menuju puncak. Diawal jalur pendakian, kita akan menemui beberapa tumbuhan yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dikiri kanan akan banyak ditemui pohon pisang, pohon salak dan tumbuhan-tumbuhan yang sering kita temui dikebun. Disini jalur terasa sedikit menanjak dengan kemiringan sekita 60 s/d 70 derajat.

 
Beberapa ratus meter kemudian, kita akan menemui hutan pinus dan selepas hutan pinus kita akan masuk ke ladang penduduk. Diujung ladang kita akan menemui gubuk, dan kolam penampungan air. Disini kita bisa mengisi persediaan air minum. Gubuk ini adalah gubuk terakhir yang kami temui, artinya tidak akan adalagi yang bisa di temui sampai puncak. Perjalanan dari awal sampai lokasi gubuk ini kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Dan untuk mencapai puncak diperkirakan masih memerlukan waktu 3 atau 4 jam lagi.

Sekitar 20 menit lepas dari ladang, kita akan menemui batu besar dengan banyak bekas sesaji berserakan disana-sini. Batu ini oleh masyarakat setempat dinamakan batu kukus. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami langsung melanjutkan perjalanan. Pertimbangan kami. Karena dulu saat pendakian pertama saya sempat mengalami kejadian supranatural disini.

Setelah melewati batu kukus, kita akan memasuki kawasan hutan yang masih tergolong alami. Berbagai tumbuhan liar dapat kita temui disini. Sangat disayangkan karena pengetahuan kami akan tumbuhan hutan sangat minim, sehingga kami tidak dapat mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan tersebut.

 
Ciri khas jalur Narimbang adalah medannya yang landai, walau pun di beberapa titik di temui tanjakan curam, tapi secara umum jalurnya memang landai. Landai disini bukan berarti mudah dilewati, kelandaian jalurnya harus ditebus dengan jarak yang panjang dengan kondisi menanjak secara konstan. Jadi dimanapun kita berdiri, bisa dipastikan dalam posisi miring, dan jalur dengan tipe seperti ini bagi kami cukup melelahkan.

Dua setengah jam kami melewati hutan yang lumayan lebat, kami menemui lokasi tanah datar yang lumayan luas. Karena kondisi fisik yang sudah menurun dan dengan mempertimbangkan informasi bahwa di puncak tanahnya teridiri dari bantuan, maka kami putuskan untuk mendirikan tenda disini. Lokasi ini juga merupakan tempat bertemunya dua jalur pendakian, yaitu jalur Narimbang dan jalur Cibeureum. Jadi disini merupakan pertigaan.

Sekitar setengah jam kita mendirikan tenda, setelah selesai Ben langsung tumbeng tidak sadarkan diri masuk kealam mimpi. Saya dan Kenthus lebih memilih untuk menyiapkan isi perut dengan memasak mie instan. Melepas lelah sambil menikmati malamnya hutan Tampomas, banyak hal yang bisa kita renungi. Hitam dan gelapnya malam diiringi alunan suara-suara binatang malam semakin menambah damainya suasana hati. Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 04.00 pagi, dan saya pun menghentikan dahsyatnya dengkuran Ben. Setelah mengganjal perut dengan mie instan dan sedikit kue kering, kami bersiap diri untuk menuju puncak. Untuk mengurangi beban, segala perbekalan sengaja kami tinggal di tenda. Dan dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohiem” kami pun berangkat.


 
Jalur dari pertigaan menuju puncak (sanghiang taraje) adalah medan terekstrim di Tampomas, dengan sudut berkisar antara 70 s/d 90 derajat. Jalur yang kami lalui didominasi oleh batuan besar kecil yang menempel ke tanah. Disisi-sisinya banyak ditemui jurang yang lumayan dalam. Ada sedikit rasa khawatir melewati jalur ini, karna kesalahan kecil saja bisa membahayakan keselamatan kami. Sehingga kami harus ekstra hati-hati melewatinya. Mungkin inilah alasannya kenapa penduduk setempat menamainya dengan sebutan “Sanghiang Taraje”

Setelah satu jam 20 menit berjalan, akhirnya perjuangan kami berakhir, dan puncakpun terlihat di depan mata. Ternyata ada yang lebih dulu sampai di puncak, disana kami bertemu dengan anak-anak SMP Buahdua Conggeang dan Mahasiswa Unpad Jatinangor. Setelah berkenalan dengan mereka, kami menuju sebuah batu besar dengan bendera tertancap disana. Dan inilah titik tertinggi Gunung Tampomas, titik inilah yang kami perjuangkan hampir selama 7 jam. Inilah titik dengan ketinggian 1684 mdpl...

Berada dititik tertinggi kota Sumedang, menyaksikan lukisan yang maha kuasa yang begitu indah, semua letih dan lelah seolah terangkat menguap keudara di gantikan oleh segarnya energi yang dipancarkan oleh eloknya alam sekitar. Kicauan suara burung menyambut pagi seolah berisi bait syair pujian diiringi untaian merdu nada-nada alam. Disini seolah mata batin ini hidup dan mampu melihat jauh kedalam diri, menyadari betapa kecil diri ini dihadapan Tuhan dengan segala ciptaannya. Betapa sombong jiwa ini yang selama ini sudah merasa mampu untuk mengemban tanggung jawab sebagai sosok pemimpin di alam ini. Congkak rasanya kita ditempatkan berada dititik tertinggi rantai makanan. Yang secara umum bukan perbaikan yang kita berikan terhadap alam, tapi sebaliknya kerusakan demi kerusakan yang kita ciptakan…..

 
Untuk APRAK dan sahabat inspirasi semua, semoga ada hikmah yang bisa diambil dari cerita ini, semoga pengalaman ini mampu menggerakan akal ini untuk berfikir, menerangi batin ini sehingga sinarnya mampu membuka mata batin kami untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya…..




 


 


No comments:

Post a Comment